Depok --- Konflik yang timbul di masyarakat dapat bermula dari adanya perbedaan seperti perbedaan suku, budaya, maupun agama. Salah satu penyebab konflik bermula dari tidak saling menghormati perbedaan satu sama lain. Para guru yang bertugas mendidik hendaknya mengajarkan siswa untuk dapat hidup bersama dan damai. Hal tersebut disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Organisasi PBB Bidang Pendidikan, Sain, dan Budaya (UNESCO) Arief Rachman usai membuka Lokakarya Pembelajaran untuk Hidup Bersama di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Jumat (30/11).
Arief mengatakan, pendidikan untuk hidup bersama dan damai merupakan salah satu agenda penting UNESCO. Untuk mengembangkan konsep ini, kata dia, materi perlu disiapkan dengan baik termasuk membina para guru. "Guru dilatih cara mendengarkan pendapat orang lain dengan baik," katanya.
Guru, kata Arief, juga dilatih keterampilan berkomunikasi. Keberagaman suku memerlukan cara pendekatan yang khusus dalam berkomunikasi terutama dalam pemilihan kalimat dan kata yang tepat. "Dimulai dengan guru karena untuk mempersiapkan generasi yang akan datang. Jadi kalau anak-anak nanti berada di dunia kerja mereka akan membawa semangat perdamaian," katanya.
Materi yang diajarkan dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan di sekolah diantaranya kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, dan mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan penerapan di kurikulum baru, Arief mengatakan, kurikulum intinya adalah bagaimana untuk menjadi warga negara yang baik. "Semua kurikulum akan berhasil kalau guru-gurunya bagus. Jadi kuncinya pada guru," katanya.
Fasilitator lokakarya dari Sri Lanka Suchith Abeyewickreme mengatakan, guru dilatih mengenai isu-isu keberagaman budaya dan membangun perdamaian. Program ini, kata dia, disebut sebagai program pendidikan etika. "Kami membantu guru berpikir kritis terhadap nilai-nilai seperti rekonsiliasi, empati, dan tanggung jawab, sehingga menghargai perbedaan budaya dan dapat hidup bersama," katanya.
Suchith mencontohkan, di negaranya Sri Lanka telah berlangsung konflik selama 26 tahun. Walaupun mulai mereda, tetapi konflik masih terjadi. Orang-orang, kata dia, masih belum mengerti satu sama lain. Melalui program ini kemudian mencoba mendorong mereka untuk berempati dan memiliki tanggung jawab etika. "Kondisi ini diciptakan di lingkungan pendidikan," katanya.
Di seluruh dunia, program ini diterapkan dalam konteks beragam mulai di lingkungan sekolah, kurikulum, nonformal, dan di lingkungan keluarga. (ASW)
0 komentar:
Posting Komentar